Minggu, 03 Juli 2016

INKOMPATIBILITAS ABO

Pengertian Inkomtabilitas ABO

Inkompatibilitas ABO merupakan suatu kondisi sebagai akibat dari ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan janin yang dikandungnya. (Ann Longsdon, 2012). Kondisi inkompatibilitas terjadi pada perkawinan yang inkompatibel di mana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang pada waktu yang sangat awal secara misterius atau tiba-tiba, bahkan sebelum ibu menyadari bahwa ia hamil (Suryo, 2005).


Inkompatibilitas   ABO   merupakan   salah   satu   penyebab   dari   penyakit   hemolitik   pada neonatus yang biasanya terjadi pada janin dengan golongan darah A,B atau AB dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang ditemukan pada golongan darah O ibuadalah dari kelas IgG yang dapat menembus plasenta (Wagle, 2010).



Etiologi




Inkompabilitas ABO pada Kesalahan Tranfusi Darah
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena ketidaksesuaian golongan darah antara penerima dan pendonor. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada sel darah merah donor oleh antibodi penerima. Keadaan ini disebut lethal tranfusion reaction (Joyce Poole, 2001)
Keadaan ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti dalam memberikan transfusi darah pada:
  1. Golongan A, B, atau AB kepada penerima yang bergolongan darah O
  2. Golongan darah A atau AB kepada penerima yang bergolongan darah B
  3. Golongan darah B atau AB kepada penerima yang bergolongan darah A (Joyce Poole, 2001)

Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan darah O dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan darah O, terdapat antibodi anti-A dan anti-B (IgG) yang muncul secara natural, dan dapat melewati sawar plasenta. Situasi ini dapat juga disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta yang memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta, abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis. (Joyce Poole, 2001)  

Manifestasi Klinis

Inkompabilitas pada Kesalahan Tranfusi Darah
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada reaksi hemolitik akut yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok  (Joyce Poole, 2001). 

Pada reaksi hemolitik tipe lambat memunculkan gejala dan tanda klinis reaksi timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus reaksi hemolitik tipe lambat  tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, reaksi ini  akan memperburuk kondisi penyakit (Rizky Adriansyah, et.al., 2009).

 Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)
Manifestasi yang ditimbulkan Inkompatibilitas ABO neonatus terhadap janin bervariasi mulai dari ikterus ringan dan anemia sampai hidrops fetalis. Manifestasi yang muncul pada bayi setelah persalinan meliputi :
1) Asfiksia
2) Pucat (oleh karena anemia)
3) Distres pernafasan
4) Jaundice
5) Hipoglikemia
6) Hipertensi pulmonal
7) Edema (hydrops, berhubungan dengan serum albumin yang rendah)
8) Koagulopati (penurunan platelets dan faktor pembekuan darah)
9) Ikterus mengarah pada Kern ikterus oleh karena hiperbilirubinemia
(University of Califorrnia, 2004).



Patofisiologi

Inkompatibilitas ABO pada transfusi darah
Terjadinya inkompatibilitas ABO pada transfusi darah disebabkan karena kesalahan transfusi yaitu kesalahan dalam pemberian darah dimana golongan darah resipien berbeda dengan golongan darah pendonor. Hal ini mengakibatkan antibodi didalam golongan darah resipien akan melisiskan sel darah merah  yang inkompatibel. Reaksi hemolitik pada kejadian inkompatibilitas ABO dapat terjadi secara akut dan secara lambat(Rizky Adriansyah, 2009).
Reaksi hemolitik akut pada transfusi merupakan masalah yang serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat ( kurang dari 24 jam ). Pada umumnya dikarenakan kesalahan dalam mencocokan sample darah resipien dan donor. Proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien berupa IgM anti-A, anti –B atau anti-Rh. Proses hemolitik dibantu oleh  reaksi komplemen sampai terbentuk membran attack complex. Pada beberapa kasus terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen. Pada reaksi hemolitik akut juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen dan antibodi akan meningaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K yang menghasilkan perforin dan mengakibatkan lisis dari eritrosit(Rizky Adriansyah, 2009).

Reaksi hemolitik lambat pada transfusi diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen yang berinteraksi dengan IgG atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dandihancurkan di limpa (Rizky Adriansyah, 2009).


Inkompatibilitas ABO pada Neonatus
Timbulnya penyakit Rh dan ABO pada neonatus terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah pada janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan Fetomaternal Microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia. Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, sepertiplatelet dan faktorpenting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin ,yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.


Komplikasi

Inkompabilitas pada Kesalahan Tranfusi Darah
Dalam kasus ini penderita dapat mengalami masalah yang serius hingga kematian. Penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan jiwa penderita. Komplikasi yang mungkin muncul pada inkompatibilitas ABO sebagai akibat reaksi tranfusi adalah gagal ginjal, syok anafilaktik, dan kematian (Rizky Adriansyah, et.al., 2009)

Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)
Apabila janin sampai aterm dilahirkan hidup maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan perkembangaan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005). 



Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada inkompatibilitas ABO kesalahan tranfusi
a.     Pemeriksaan crossmatch ulang antara darah pendonor dan penerima
b.    Direct Antiglobulin Test (DAT)
c.     Pemeriksaan serologis rhesus
d.    Urinalisis didapatkan adanya hemoglobinuria
e.     Pemeriksaan lain untuk mengetahui komplikasi dari reaksi hemolitik, antara lain:
-    Renal function test
-    LDH, bilirubin dan haptoglobin
-   Status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan fibrinogen) (Rizky Adriansyah, et.al., 2009).

Pemeriksaan penunjang pada Inkompatibilitas ABO neonatus, meliputi:
a.         Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis neonatus pada kasus inkompatibilitas ABO merujuk pada pemeriksaan klinis pada ikterus neonatorum karena secara klinis neonatus dengan inkompatibilitas ABO akan mengalami ikterus/ hiperbilirubinemia. Ikterus/ hiperbilirubinemia adalah pewarnaan di kulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah (Djoko Waspodo et.al., 2005)
Klinis akan menunjukkan ikterus bila kadar bilirubin dalam serum adalah ≥ 5mg/dl (85µmol/L). Disebut hiperbilirubin adalah keadaan kadar bilirubin serum mencapai 13 mg/dl (Djoko Waspodo et.al., 2010).
Pemeriksaan klinis ikterus dilakukan menggunakan pencahayaan yang memadai. Pemeriksaan dimulai dari kepala, leher, dan seterusnya. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata di dalam gambar di bawah ini :




Pemeriksaan tanda klinis lain, meliputi adanya gangguan minum, keadaan umum, apnea, suhu yang labil, sangat membantumenegakkan diagnosa penyakit utama disamping keadaan hiperbilirubinemianya (Djoko Waspodo et.al., 2010).

a.         Hitung sel darah merah
Pada kasus inkompatibilitas ABO pada neonatus, pemeriksaan sel darah merah menunjukkan adanya retikulositosis (retikulosit > 4, 6%) dan mikrosferosit pada hapusan darah tepi (Desiana Dharmayani, et.al., 2009)
Retikulosit merupakan sel darah merah imatur. Jika terjadi anemia, sumsum tulang berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan aktivitas eritropoiesis, yang tercermin pada peningkatan hitung retikulosit. Jika produksi sumsum tulang terganggu maka hitung retikulosit akan tetap rendah (Desiana Dharmayani, et.al., 2009).
b.         Direct Coomb Test (DCT)
Neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO, menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan ini. Tujuan dari pemeriksaan DCT untuk mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG atau komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel darah merah di invivo (pada tubuh pasien). Bahan yang dipergunakan adalah sel darah merah pasien. Pada pemeriksaan ini menggunakan sampel darah dengan antikoagulan EDTA (Desiana Dharmayani, et.al., 2009).




Penatalaksanaan

Inkompabilitas ABO pada Kesalahan Tranfusi
1.         Pemberian tranfusi harus diberhentikan
2.         Pemberian cairan intravena dilakukan dengan hidrasi PZ (3000ml/m2/hari)
3.         Untuk pencegahan GGA :
a.         Dapat diberikan dopamin dosis rendah 1-5 mcg/kg/menit
b.        Diuretik osmotik: manitol (100 ml/kg/hari), selanjutnya diberikan 30ml/kg/hari atau furosemid 1-2ml/kgBB
Jika dijumpai tanda DIC, pertimbangkan untuk dilakukan tranfusi FFP, kriopresipitat, dan/ atau trombosit (Rizky Adriansyah, et.al., 2009). 


Inkompabilitas ABO pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)
1.         Tatalaksana pada inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis  di rumah adalah :
a.         Anjurkan ibu untuk menyusui bayi secara dini, dan ASI eksklusif lebih sering minimal tiap 2 jam.
b.        Jika bayi tidak dapat menyusu, ASI eksklusif dapat diberikan melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
c.         Gendong bayi untuk mendapatkan sinar matahari pagi selama 30 menit pada pukul 07.00-07.30 WIB, dalam 3-4 hari (Tunjung Wibowo, 2010)
d.        Pada dasarnya inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat menjalani rawat jalan dengan nasehat untuk kembali jika ikterik berlangsung lebih dari 2 minggu (Djoko Waspodo et.al., 2010)
2.         Pemberian fototerapi
Fototeraapi merupakan terapi yang dilakukan dengan menggunakan cahaya dari lampu fluorescent khusus dengan intensitas tinggi, secara umum metode ini efektif untuk mengurangi serum bilirubin dan mencegah ikterus (Potts and Mandleco, 2007).
Fototerapi dilakukan dengan memberikan sinar ultraviolet, baik sinar biru (δ 400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urin dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin (Ali Usman, 2007).
Foto terapi menggunakan bola lampu sejumlah 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylightfluorescent tubes (Porter and Dennis, 2002). Spektrum cahaya yang dikirim oleh unit fototerapi ditentukan oleh tipe sumber cahaya dan filter yang digunakan, biasanya terdiri dari daylight, cool white, blue atau special bluefluorescent tubes dan diberi label F20T12/BB atau TL 52/20W. Durasi fototerapi dihitung berdasarkan waktu dimulainya fototerapi sampai fototerapi dihentikan. Durasi fototerapi ditentukan oleh penurunan nilai total serum bilirubin sampai mencapai nilai yang diharapkan, sehingga tidak ada penentuan berapa jam sebaiknya fototerapi diberikan (American Academy of Pediatric, 2004).
Fototerapi diberikan pada bayi yang mengalami ikterus berat, kemudian tentukan apakah bayi memiliki faktor resiko, seperti: BBLR, preterm, dan hemolisis. Hentikan fototerapi jika bilirubin serum berada di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, akan tetapi jika bilirubin serum berada pada atau di atas nilai yang dibutukan terapi sinar, maka lanjutkan fototerapi Pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam, kecuali pada kasus-kasus tertentu. Fototerapi dihentikan jika kadar bilirubin serum kurang dari 13mg/dL. Jika kadar bilirubin tidak dapat diukur, lanjutkan sampai 3 hari kemudian dan lakukan pemeriksaan bilirubin serum jika memungkinkan. Akan tetapi jika tetap tidak bisa dilakukan pemeriksaan bilirubin serum, maka lakukan pemeriksaan ikterus dengan metode klinis (Moeslichan, et.al., 2004; American Academy of Pediatric, 2004).
Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya, semakin besar irradiasinya) dan permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi intensif (Maisels,et al, 2008). Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya. Dengan lampu neon, jarak harus tidak lebih besar dari 50 cm (20 inch). Jarak ini dapat dikurangi sampai 10-20 cm jika homeostasis suhu dipantau untuk mengurangi resiko overheating (Judarwanto, 2012).
Efek samping ringan yang harus diwaspadai perawat meliputi feses encer kehijauan, ruam kulit transien, hipertermia, peningkatan kecepatan metabolisme,seperti hipokalsemia dan priaspismus. Untuk mencegah atau meminimalkan efek tersebut, suhu dipantau untuk mendeteksi tanda awal hipotermia atau hipertermia, dan kulit diobservasi mengenai dehidrasi dan kekeringan, yang dapat menyebabkan ekskoriasi dan luka (Wong, 2009).
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, jarang terjadi dan reversibel. Komplikasi yang sering terjadi (Sastroasmoro, 2004) :
a)   Bronze baby sindrom : mekanisme berkurangnya ekresi hepatic hasil penyinaran bilirubin
b)  Diare : bilirubin indirek menghambat laktase
c)  Hemolisis : fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
d) Dehidrasi : Insesible Water Loss ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton.
e)  Ruam kulit : Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan
pelepasan histamin.
Peran perawat dalam pelaksanaan fototerapi sebagai berikut :
a)    Mengusahakan tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah pakaian bayi
b)   Menutup kedua mata dan gonad dengan penutup yang memantulkan cahaya untuk melindungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual.
c)    Meletakkan bayi 50 cm (20 inch) di bawah sinar lampu untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d)   Mengubah posisi bayi setiap 2-4 jam.
e)    Memotivasi ibu untuk tetap menyusui bayinya tiap 3 jam sekali, jika bayi menerima cairan melalui intravena/makanan melalui NGT maka jangan memindahkan bayi.
f)    Mengukur suhu bayi setiap 3 jam sekali, jika suhu bayi >37,5°C maka atur kembali suhu ruangan/pindahkan sementara suhu bayi sampai suhunya mencapai 36,5°C-37,5°C. Matikan sinar fototerapi  jika bayi sedang menerima oksigen (Mali, 2007).
g)   Mengkolaborasikan pemeriksaan kadar bilirubin sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam
h)  Observasi hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
i)   Melakukan pencatatan terapi sinar
j)   Buat asuhan keperawatan selama bayi fototerapi
(Moeslichan, 2007)
3.         Pemberian tranfusi albumin
4.         Tranfusi tukar (darah)
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah terpenuhi. Manfaat lebih tranfusi tukar yaitu membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus sehigga mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemia.(Ali Usman, 2007). Ketentuan dalam tranfusi tukar sebagai berikut :
a)    Darah donor yang digunakan tranfusi adalah golongan O.
b)   Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.
c)    Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O,
d)   Rhesus (-) atau Rhesus yang sama dengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah (2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar sekitar 87% (Ali Usman, 2007).


5. Suplementasi zat gizi
Defisiensi zat besi pada neonatal disebabkan proses kehilangan darah kronis/deplesi cepat cadangan zat besi yang jumlahnya terbatas. Defisiensi zat besi terjadi lebih berat pada bayi prematur yang pertumbuhannya lebih cepat dan cadangan zat besinya minimal. Oleh karena itu suplementasi zat besi diperlukan untuk mendukung proses eritropoiesis yang efektif. Terapi utama adalah mengatasi penyebab deplesi zat besi (misalnya kehilangan darah akut atau kronis, masalah absorbsi) dan memberikan suplementasi dengan zat besi elemental 6 mg/kgBB/hari. (Sumber: Risalina Myrtha, 2014)




Konsep Asuhan Keperawatan pada Inkompabilitas ABO
Pengkajian
1)   Data Demografi :
Pada inkompabilitas ABO kesalahan tranfusi, data pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin,
Pada inkompabilitas ABO neonatus meliputi data bayi (nama, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, usia, agama, suku bangsa, alamat) dan data orang tua (nama, usia, pendidikan, perkawinan, pekerjaan, alamat, penghasilan, golongan darah)
2)   Keluhan Utama :
Pada inkompabilitas ABO kesalahan tranfusi, meliputi : demam, menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan.
Pada inkompabilitas ABO neonatus, biasanya bayi dirawat karena kuning pada wajah dan seluruh tubuh lebih dari 1 hari, pucat, bengkak, dan sesak napas.
3)   Riwayat penyakit sekarang :
Pada inkompabilitas ABO kesalahan tranfusi : kronologi tindakan tranfusi yang didapat sampai waktu muncul reaksi yang dirasakan seperti demam, menggigil, dll setelah mendapat terapi tranfusi.
Pada inkompabilitas ABO neonatus : kronologi munculnya kondisi kuning, sejak kapan, berapa lama, riwayat tindakan yang diberikan dirumah samapai MRS.
4)   Riwayat Penyakit Dahulu :
Pada inkompabilitas ABO kesalahan tranfusi : riwayat penyakit sebelunya yang diderita, indikasi tranfusi, riwayat MRS.
Pada neonatus meliputi riwayat kehamilan dan persalinan serta  riwayat penyakit penyerta pada ibu.
5)      Pemeriksaan Fisik
Pada inkompabilitas ABO kesalahan tranfusi meliputi :
A (Airway)           : Distress pernapasan
B (Breathing)       : RR meningkat (>20x/menit), sesak nafas
C (Circulation)     : Pasien menggigil, sianosis, pucat, hipertermi, hipotensi.
B1 (Breathing)     : Sesak nafas disebabkan oleh spasme otot pernaffasan meningkat sehingga terjadi obstruksi, RR meningkat (>20x/menit), pernafasan cuping hidung.
B2 (Blood)           : Sianosis terjadi akiat penurunan sirkulasi perifer, pucat, hipertermi, hipotensi, jika tidak teratasi menyebabkan syok hipovolemik.
B3 (Brain)            : Pada kondisi tidak teratasi menyebabkan penurunan kesadaran.
B4 (Bladder)        :  Oliguri, hematuria.
B5 (Bowel)          : Mual dan muntah akibat reaksi alergi antigen-antibodi.
B6 (Bone)            : Pasien mengalami kelemahan.
Pada inkompabilitas neonatus meliputi :
a)    Kondisi umum : menangis (kuat/tidak), gerakan (aktif/tidak)
b)   Kesadaran : compos mentis/tidak
c)    Status antropometri : BB, PB, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar abdomen, lingkar lengan, apgar skor, TTV (Suhu,Nadi,RR)
d)   Pemeriksaan Primary Survey
A (Airway)      : Inkompatibilitas pada kondisi kehamilan biasanya
                          menyebabkan asfiksia dan distress pernapasan
B (Breathing) : Distress pernapasan pada inkompatibilitas pada
  kondisi kehamilan dan sesak napas pada kondisi
  kesalahan transfusi
C (Circulation)            : Haemorrhage control (Anemia, hipotensi,
  Hemoglobinuria)
e)    Pemeriksaan Head to Toe :
·     Kepala : normocepal, adakah caput, hematom, kondisi UUB, adakah jaundice
·     Mata : sclera ikterik
·     Telinga : normal
·     Hidung : pernapasan cuping hidung, sesak napas
·     Mulut : mukosa kekuningan, lidah kuning
·     Leher : normal
·     Tenggorokan : sulit terkaji (biasanya normal)
·     Thorak : simetris, retraksi dinding dada +, ikterik pada kulit dada, jantung normal, paru normal
·         Abdomen : tampak cembung, ikterik pada kulit abdomen, turgor kulit baik, bising usus normal
·     Ektremitas : gerakan, akral, adanya ikterik, CRT normal (<2 detik)
·     Kulit : berwarna pucat (sianosis +), ikterik (bisa di seluruh tubuh)


Diagnosa Keperawatan
Pada inkompatibilitas ABO Kesalahan Tranfusi :
  1. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d gangguan transportasi oksigen
  2. Hipertermi b.d peningkatan metabolisme 
  3. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d gangguan transportasi oksigen di otak. 
  4.  Kelebihan volume cairan b.d penurunan mekanisme pengaturan urin. 
  5. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan kondisi metabolic. 
  6. Risiko perdarahan b.d terjadinya fibrinolisis.
Pada inkompatibilitas ABO Kondisi Kehamilan (Ibu-Neonatus) : 
  1. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen dan ketidakseimbangan ventilasi
  2. Neonatal jaundice berhubungan dengan hiperbilirubinemia sekunder umur bayi kurang dari 7 hari 
  3. Kerusakan integritas kulit b.d kondisi gangguan metabolik 
  4. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan. 
  5. Kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan metabolisme di otak.

1 komentar:

  1. maaf sblmnya, ibu yg bergolongan O ngak mungkin anaknya ab
    Kalaupun suaminya ab, anaknya kalau ngak a ya b

    BalasHapus